Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait dengan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Aturan tersebut sebagai komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi karbon pada tahun 2030.
Indonesia berencana menjadi penggerak pertama mengenai penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar di tingkat global dalam pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacabiru mengungkapkan bahwa selain pandemi Covid-19, perubahan iklim merupakan tantangan global yang harus ditangani secara bersama sama.
Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki komitmen penuh untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 29 persen atas kemampuan sendiri. Namun apabila mendapatkan dukungan internasional, penurunan emisi gas rumah kaca bisa mencapai 41 persen hingga tahun 2030.
Komitmen tersebut dibuktikan dengan keputusan Indonesia meratifikasi Paris Agreement yang kemudian dipertegas menjadi bagian dari dokumen perencanaan pembangunan nasional 2020-2024.
Untuk mendukung komitmen tersebut pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan fiskal seperti adanya pemberian insentif perpajakan, alokasi pendanaan perubahan iklim di setiap lembaga, serta transfer ke daerah dan dana desa.
Adapun terdapat inovasi pembiayaan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Sustainable Development Goals (SDG) Indonesia One dan Green Climate Fund (GCF).
Implementasi terkait dengan pajak karbon menjadikan Indonesia sejajar dengan negara maju lainnya seperti Singapura, Jepang, dan Inggris. Itu artinya, Indonesia menjadi negara berkembang pertama yang serius dalam mengimplementasikan inovasi untuk menurunkan emisi karbon.