Setelah berhasil melakukan divestasi saham atas Freeport, laba PT Freeport Indonesia diprediksi akan turun di awal tahun ini. Namun penurunan laba yang akan dirasakan di tahun pertama akan kembali stabil di tahun ke tiga yaitu pada tahun 2022 dengan nilai laba stabil mencapai US$ 2 miliar per tahun.
Berdasarkan data proyeksi PTFI, laba bersih perusahaan akan anjlok cukup dalam pada periode 2019-2022. Tahun ini, laba bersih perseroan diestimasi anjlok nyaris 100% ke US$ 170 juta atau sekitar Rp2,38 triliun (asumsi kurs Rp14.000 /dolar AS).
Penurunan laba ini sudah diprediksi sebelumnya, namun proyeksi kenaikan laba akan kembali mengalami masa stabil di tahun 2022 dengan asumsi laba perusahaan bisa terus naik dan menyentuh angka US$ 2,36 miliar (Rp33,04 triliun) pada 2034.
Jika laba tersebut diakumulasikan sampai akhir jangka waktu pengembangan tambang di 2041, setidaknya Indonesia akan mendulang laba bersih US$ 34,17 miliar, atau sekitar Rp 478 triliun dalam 20 tahun.
Terkait data ini, manajemen PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum sebagai BUMN yang mengambilalih PTFI sebelumnya sudah menghitung prediksi laba ini. Inalum menilai penurunan laba sejak 2019 memang akibat operasi tambang Grasberg yang akan berpindah dari tambang terbuka (open pit) menjadi tambang bawah tanah (underground mining), sehingga akan mengurangi pencapaian pendapatan perusahaan secara signifikan.
Sebelumnya Indonesia berhasil mengambil alih saham PT Freeport Indonesia 51% dengan ini Indonesia menjadi pemilik saham mayoritas. Pemerintah melalui induk holding BUMN pertambangan, PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) membayar 3,85 miliar dollar AS untuk mengambil 51 persen saham PT Freeport Indonesia.