Industri migas (minyak dan gas bumi) Indonesia berada di persimpangan. Di tengah tantangan mempertahankan produksi di sumur-sumur yang semakin tua, skema cost recovery dinilai sebagai solusi terbaik untuk mendorong investasi migas dan mencapai target ambisius produksi 1 juta barel per hari pada tahun 2030.
Menurut Direktur Center for Energy Policy, Muhammad Kholid Syeirazi memaparkan skema cost recovery menawarkan prinsip “berbagi beban” yang adil antara kontraktor dan pemerintah. “Cost recovery bisa mendorong investasi migas.
Skema ini juga paling fair, apalagi sumur-sumur kita sudah tergolong mature. Butuh biaya besar untuk mempertahankan produksi,” ujarnya dalam wawancara telepon dari Jakarta, Rabu (19/6).
Skema cost recovery memungkinkan kontraktor untuk mengklaim kembali biaya produksi yang dikeluarkan sebelum membagi hasil dengan pemerintah. Hal ini menjadi vital karena industri migas menghadapi tantangan besar, dengan sumur-sumur yang lebih banyak air daripada minyak dan lokasi yang semakin sulit dijangkau.
Kholid menekankan bahwa industri migas tidak dapat diukur dengan prinsip ekonomi umum. “Kontraktor yang sudah menginvestasikan dana besar pun belum tentu menemukan minyak. Kondisi sekarang lebih sulit dibandingkan masa lalu, dengan pencarian minyak yang semakin ke timur dan semakin dalam,” jelasnya.
Dengan skema cost recovery, pemerintah berharap dapat menarik lebih banyak investasi untuk mengeksplorasi wilayah baru dan meningkatkan produksi di sumur-sumur yang ada. Sebaliknya, skema gross split, yang mengurangi insentif bagi kontraktor untuk menanggung risiko tinggi, dianggap kurang menarik bagi investasi di sektor hulu migas.
Wiko Migantoro, Wakil Direktur Utama Pertamina, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR pekan lalu, menyatakan bahwa sektor hulu migas Indonesia menunjukkan tanda-tanda peningkatan produksi. Namun, ia menegaskan perlunya dukungan pemerintah untuk memperbaiki term fiskal agar bisa mendorong optimalisasi produksi migas.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Pri Agung Rakhmanto, pendiri ReforMiner Institute. Ia menilai bahwa rencana perubahan skema kontrak bagi hasil dari gross split menjadi cost recovery untuk Blok Rokan adalah langkah yang tepat. “Gross split tidak pernah cocok untuk lapangan yang masih membutuhkan pengembangan dengan risiko dan modal besar,” katanya.
Investasi besar yang diperlukan untuk mempertahankan produksi di blok-blok tua, seperti Blok Rokan, membuat skema cost recovery menjadi lebih relevan. Pri Agung mencatat bahwa tanpa skema ini, kontraktor akan lebih memilih area brown field yang sudah dikembangkan daripada merambah ke wilayah green field atau cadangan baru yang belum tergarap.
Ke depan, dengan adanya dukungan terhadap skema cost recovery, Indonesia dapat berharap untuk melihat peningkatan investasi migas yang berkelanjutan, yang pada akhirnya akan membantu negara mencapai target produksinya dan menjaga stabilitas pasokan energi nasional.
Demikian informasi seputar skema cost recovery. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Mbipike.Com.